Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia

 BAB I

PENDAHULUAN


Latar Belakang


Sejarah adalah sebuah komponen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Karena dengan sejarah kita tidak hanya mengetahui tntang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Tetapi lebih kepada pelajaran dan pengajaran yang kita ambil untuk dijadikan pedoman dan menentukan apa yang kita perbuata untuk masa depan kita.


Begitu juga dengan pendidikan, pendidikan tidak terlepas kajianny adengan sejarah. Pendidikan memberikan tolak ukur kepada bagaimana kita bertindak dan tentu kita tidak bisa menutup mata dari pendidikan dalam konsep sejarah. Karena dengan memahami pendidikan dalam konsep sejarah. Kita akan melihat bagaimana proses perkembangan dari pendidikan tersebut. Dan kita akan melihat bagaimana perjuangan tokoh-tokoh terdahulu dalam mengembangkan pendidikan.


Islam mempunyai pandangan dan sejarah tersendiri dalam konsep pendidikan. Islam memberikan pengaruh dalam sejarah pendidikan. Khususnya dalam makalah ini akan dibahas tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Mulai dari masuk hingga berkembangannya Islam di Indonesia. Serta proses sejarah lainnya dalam pendidikan yang dipengaruhi oleh agama Islam itu sendiri.


Rumusan Masalah


Bagaimana Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia?


Bagaimana Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia?


Bagaimana Sejarah dan Dinamika Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia?


Tujuan


Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam.


Untuk mengetahui bagaimana Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.


Untuk mengetahui bagaimana Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia


Untuk mengetahui bagaimana Sejarah dan Dinamika Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN


Sejarah Islam di Indonesia -Awal Masuk dan Perkembangannya


Islam sudah mulai diperkenalkan ke berbagai negara yang ada di dunia sejak dahulu kala baik itu ke afrika, timur tengah, asia dan eropa. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, agama Islam sudah disebarluaskan ke berbagai negara bahkan setelah wafatnya beliau pada 632 M, syi'ar agama Islam masih terus dilakukan oleh para khalifah dan para pemimpin Dinasti Islam lainnya.


Islam pertama kali diperkenalkan di Indonesia saat Dinasti Umayyah didirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Indonesia yang terkenal akan rempah-rempahnya, ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Para pedagang Muslim juga berdatangan ke Indonesia untuk berdagang dan sudah berlangsung dari abad ke abad.


Tidak hanya melakukan perdagangan saja, para pedagang muslim yang berasal dari Arab, Gujarat dan Persia itu pun juga mendakwahkan ajaran Islam kepada penduduk sekitar. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai sejarah masuk dan perkembangan di Indonesia.


Awal Masuknya


Islam masuk dan berkembang di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Perihal kapan dan siapakah yang membawa Islam masuk ke Indonesia sering menjadi pertanyaan dan permintaan. Berbagai macam teori dikemukakan oleh para sejarawan yang tentunya didukung oleh fakta-fakta yang telah mereka kumpulkan.


Karena beberapa sejarawan Islam terbagi-bagi dalam beberapa kelompok dimana mereka masing-masing mendukung teori yang mereka anggap lebih kuat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh ahli sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, ia membagi pendapat terkait awal masuknya Islam di Indonesia menjadi tiga teori, yaitu:



1. Teori Gujarat


Suryanegara (1996: 75) mengemukakan bahwa dasar dari teori ini kemungkinan berdasar kepada Snouck Hurgronje yaitu di dalam bukunya “L 'Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de I'Historie des Religious”. Ada tiga alasan Snouk Hurgronje lebih menitikberatkan keyakinannya ke Gurajat yaitu:


Tidak banyak fakta yang menerangkan peran bangsa Arab terkait penyebaran Islam ke Nusantara.


Sudah lama terjalin hubungan dagang antara Indonesia dan India.


Ada inskripsi tertua mengenai Islam di Sumatera sehingga memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.


Teori ini juga didukung oleh WFStutterheim dalam bukunya “De Islam en Zijn Komst In de Archipel”. Ia menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13. Hal itu didasarkan pada batu nisan Sultan Malik As-Saleh, Sultan Pertama dari Kerajaan Samudera Pasai yang wafat pada 1297. Snouch Hurgronje juga menyatakan bahwa Islam masuk pada abad ke 13 M dari Gujarat.


Selain itu, alasan mengapa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat adalah Islam yang ditampilkan melalui jalur perdagangan antara Indonesia - Cambay (Gujarat) - Timur Tengah - Eropa.


2. Teori Mekkah


Teori ini didukung oleh para sejarawan muslim seperti Prof. Hamka yang mengatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah yakni kurang lebih sekitar abad ke 7 M sampai 8 M yang langsung dari Arab.


Hal itu didukung dengan adanya jalur yang ramai dan bersifat Internasional sebelum abad ke-13 melalui Selat Malaka yang terhubung Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Bani Umayyah (Asia Barat) dan Sriwijaya (Asia Tenggara).


Selain itu, Hamka mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M berdasarkan berita Cina Dinasti Tang yang menyebutkan bahwa ada daerah pemukiman pedagang Arab Islam di pantai Barat Sumatera.


Bukan hanya itu saja, JC Van Leur mengatakan dalam bukunya “Indonesia: Trade and Society” bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera terdapat pemukiman Arab Islam dengan perkiraan bahwa bangsa Arab telah membangun perdagangannya di Kanton pada abad ke-4 M.


Sedangkan, teori yang menyatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13 M yang menyatakan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdirinya, dikatakan bukan sebagai awal masuknya Islam tapi merupakan perkembangan Islam di Nusantara.


3. Teori Persia


Suryanegara (1996: 90) menyatakan bahwa teori pelopor Persia di Indonesia adalah PAHoesein Djajaningrat. Hal itu didukung dengan kebudayaan yang ada di masyarakat Islam di Indonesia serupa dengan kebudayaan Persia sebagai contoh dalam budaya dan sebagainya.


Upaya Islamisasi 


Islam datang ke Nusantara dan beragama Islam ke berbagai kalangan masyarakat secara damai. Inilah beberapa cara yang dilakukan guna membunuh Islam ke Indonesia.


Perdagangan


Dikarenakan Indonesia berada di posisi yang strategis untuk jalur perdagangan dan juga merupakan penghasil rempah-rempah sudah pasti Indonesia banyak disinggahi para pedangan dari segala penjuru dunia termasuk pedagang Islam. Banyak dari pedagang Islam yang tinggal dan membangun pemukiman serta berdakwah.


Perkawinan


Para pengusaha lokal yang menikahkan putri mereka dengan para pedangan Islam karena pada saat itu para pedagang Islam sebagai kelompok yang terpandang. Perkawinan akan berlangsung jika gadis tersebut menerapkan agama Islam. Dengan begitu, semakin banyaklah keluarga dan keturunan muslim yang berada di Indonesia.


Pendidikan


Para pedagang muslim juga membangun pondok pesantren sebagai sarana mendakwahkan Islam di Indonesia yang dipmpin langsung oleh para guru agama Islam dan para ulama. Para santri yang sudah lulus belajar di pondok pesantren akan mendakwahkan agama Islam seketika mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.


Kesenian


Dakwah di Indonesia juga dilakukan dengan menggunakan kesenian dimana para pendakwah menggunakan media seni untuk memperkenalkan Islam ke penduduk pribumi. Misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk berdakwah.


Tasawuf


Penyebaran agama Islam ke penduduk pribumi dilakukan dengan menerapkan teosofi yang sudah bercampur dengan pemahaman masyarakat Indonesia karena pada umumnya para pendakwah tersebut paham mengenai hal - hal magis dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan.


Sebut saja Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin ar Raniri, Abdul Rauf Singkel dari Aceh.



Perkembangan Islam 


Agama Islam yang masuk ke Indonesia tentunya mengubah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan lokal yang sudah ada di Indonesia sejak lama mulai bertransformasi dengan kebudayaan Islam.


Agama Islam yang datang melalui jalur perdagangan tentunya membawa pengaruh besar kepada penduduk pribumi, khususnya masyarakat melayu karena pada saat itu masyarakat melayu sering melakukan aktivitas perdagangan. Pada saat itu ajaran agama Islam mudah diterima di Indonesia karena disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah:


Ajaran agama Islam sederhana, mudah digunakan dan mudah diterima.


Untuk menerapkan agama Islam sulit karena hanya kalimat dua kalimat syahadat yaitu “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah“


Upacara-upacara Islam sederhana dan tidak menyulitkan.


Islam disebarkan dengan kedamaian.


Agama Islam tidak mengenal kasta yang membeda-bedakan masyarakat berdasarkan golongan-golongannya. Islam persamaan hak dan kesetaraan.


Runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya menjadi penyebab kuat berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.


Ajaran moral Islam kepada penduduk pribumi.


Para pendakwah pandai dalam penyembuhan penyembuhan sehingga disenangi penduduk pribumi.


Memperkenalkan dan menyadarkan otoritas sakral dimana para pendakwah membuat teks-teks yang ditulis untuk diimplementasikan dan dihafal.


Islam mengajarkan bahwa untuk pembatasan dapat dilakukan dimana saja selagi tempat suci dan tidak harus selalu menetap di daerah tertentu karena tidak takut dilindungi Tuhan.


Kekusaan politik yang dimiliki pedagang muslim yang merupakan kalangan atas.


Umat ​​Islam dipandang tangguh dalam hal kemiliteran.


Tidak hanya sampai pada dakwah yang disebarkan oleh para pendatang muslim dan pedagang muslim saja tetapi seiring berjalannya waktu kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri dan mencapai masa-masa kejayaannya serta banyak didirikan mesjid dan musholla di berbagai tempat sebagai sarana ibadah. Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai dengan Sultan Malik As-Saleh sebagai sultan inspeksi.


Agama Islam yang berkembang di Indonesia juga pengaruh yang besar baik itu terkait arsitektur, bahasa, pendidikan, norma, hubungan sosial, budaya dan bidang lainnya. Sebagai contoh dari bidang arsitektur terdapat berbagai jenis bangunan seperti mesjid, kerajaan, benteng, kuburan, air mancur, bak pemandian, menara, surau, dan sebagainya, terlihat corak-corak keislaman dan timur tengah di masing-masing bangunan tersebut.


Di bidang bahasa, terlihat beberapa kosa kata Indonesia merupakan adaptasi dari bahasa arab seperti mesjid, kursi, ustadz, umat, kitab, dan sebagainya. Sedangkan di bidang pendidikan, kita dapat melihat banyaknya sekolah-sekolah keislaman seperti pondok pesantren, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madsarah aliyah, TPA & MDA, serta perguruan tinggi Islam.




Surau/Langgar


Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaanya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minang Kabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah di gunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha. Pada masa awalnya, surau juga digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang. Keberadaan surau cenderung mengambil tempat di puncak atau daratan yang tinggi untuk melakukan kontemplasi (asketis) para warga yang sedang bermunajat kepad yang Maha Agung.


Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M, yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di kawasan bukit Gonbak. Seperti kita tahu dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha.


Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baliqh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal, menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.


Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan agama Islam, khususnya tarekat (suluk).


Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.


Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:[7]


Pengajaran Al-Qur’an. Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua macam tingkatan


Pendidikan Rendah, memahami ejaan huruf Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, cara berwudhu, tata cara sholat, keimanan, dan akhlak (kisah-kisah nabi dan orang sholeh lainnya).


Pendidikan Atas, pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid dan kitab perukunan.


Pengajian Kitab


Materi pendidikan pada jenjang ini  meliputi; ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan pada jenjang  ini biasanya dilakukan pada siang maupun malam hari.


Dalam perkembangannya, surau pernah mengalami pasang surut. Ketika akhir abad XVIII, yang ditandai dengan semboyan kembali kepada ‘ajaran syari’at’. Surau pernah dihancurkan oleh pemuda-pemuda yang tidak setuju terhadap keberadaan surau. Sebab, surau dituduh sebagai lahan subur untuk kegiatan tahayyul, bid’ah, dan hurafat (TBC). Tekanan dari gerakan tajdid semacam ini membawa implikasi buruk bagi kelembagaan surau dan pengajaran Islam. Perlawanan dari kelompok yang cenderumg berfikir ‘puritan’ berakhir karena memperoleh musuh baru yang lebih dahsyat ketimbang hanya seputar kegiatan TBC, yakni kolonialisme. Mereka yang semula memusushi surrau akhirnya mengalihkan perhatian untuk membendung dan memerangi para kolonial. Sehingga sedikit demi sedikit gerakan ‘anak muda’ itu terkuras untuk menghadapi penjajah. Dalam pandangan mereka musuh yang paling berbahaya adalah  missionaris kolonial.[


Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman-pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara para alumni Pendidikan Surau itu adalah Haji Rasul, AR. At. Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.



Pesantren


Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’I. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan kata pondok yang biasa disebutkan secara bersamaan dengan pesantren berarti rumah atau tempat tinggal sedehana yang terbuat dari bamboo. Di samping itu, kata “pondok’ juga berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti hotel atau asrama (Zamakhsyari, 1983: 18).


Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.


Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi:


Materi pelajaran dan metode pengajaran


Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan ilmu agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.


Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantrern ialah:


Metoden Wetonan


Metode Sorogan


Metode Hafalan


Jenjang pendidikan


Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.


Fungsi pesantren


Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan non formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, mesjid pesantren juga berfungsi sebagai mesjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah.


 


Kehidupan Kiai dan Santri


Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi luar.


[1] Rukiati, Enung K, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 19.


[2] Zuhairansyah Arifin, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 137-138.


[3] Ibid, hlm. 20.


[4] Ibid, hlm. 21-22.


[5] Ibid, hlm. 22-27.


[6] Zuhairansya Arifin, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.140-141.


[7] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 281-282


[8] Zuhairansyah Arifin, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 158-159.


[9] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 284-285.














Komentar